Berpikir tentang apa yang membuat sebuah revolusi hidangan penutup? Chateraise membawa inovasi mereka ke Indonesia HANYA dengan lima taktik, menghancurkan ekspektasi dan meningkatkan penjualan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kamu mungkin berpikir, “Apa masalahnya dengan hidangan penutup?” Oh, tapi yang kita bicarakan adalah kudeta produsen gula yang membuat para pembuat makanan manis lokal tidak berdaya.
Namun, jangan ditutup-tutupi, merevolusi makanan penutup di pasar yang dibanjiri dengan hidangan manis bukanlah hal yang mudah. Mulai dari menciptakan rasa yang sesuai dengan selera lokal hingga harga yang masuk akal.
Penasaran? Mari kita cari tahu bagaimana mereka melakukannya.
1. Perpaduan Rasa Unik
Saat Chateraise memutuskan untuk masuk ke Indonesia, mereka tidak hanya sekedar membuka toko.
Anggap saja sebagai jembatan kuliner antara Jepang dan Indonesia, di mana setiap makanan manisnya menceritakan kisah harmoni budaya.
Bayangkan sesendok matcha—khas dari Jepang–-yang berbaur dengan semangat buah-buahan lokal Indonesia.
Atau bayangkan sebuah dorayaki, tapi dengan sentuhan berbeda: isian kacang merah yang biasanya manis ditukar dengan selai yang bernyanyi dengan cita rasa Indonesia. Ini seperti gabungan kuliner antara dua tradisi.
Ini bukan sekedar memadukan dan mencocokkan. Dibutuhkan pemahaman yang luas mengenai hal-hal kecil yang mendefinisikan cita rasa Jepang dan Indonesia (1).
Tidaklah cukup hanya dengan mengetahui bahwa hidangan manis itu universal; tetapi juga harus memahami mengapa dan bagaimana.
Perjalanan ini berarti melestarikan keanggunan hidangan penutup Jepang yang halus sambil memperkenalkan sedikit sentuhan Indonesia—sebuah tindakan yang menyesuaikan antara inovasi dan tradisi.
Melalui perpaduan yang cermat ini, Chateraise melakukan lebih dari sekedar memperluas basis konsumennya.
Chateraise juga mengundang para pecinta makanan Indonesia untuk melakukan perjalanan penuh cita rasa yang menghormati warisan kuliner kedua negara.
Dan jujur saja, di dunia yang terkadang seperti terpecah belah, apa yang lebih indah daripada menemukan kesamaan dalam kecintaan yang sama terhadap hidangan penutup?
2. Penetapan Harga Strategis
Keputusan Chateraise untuk menyesuaikan strategi harga mereka di Indonesia lebih dari sekedar masalah ekonomi; ini merupakan manuver strategis yang membentuk kembali lanskap hidangan penutup lokal.
Bayangkan, jika kamu mau, hidangan penutup Jepang premium yang dulunya dibanderol dengan harga Rp 25.000, tiba-tiba menjadi dapat diakses dengan harga kurang dari Rp 15.000 (2).
Ini bukan hanya tentang memangkas harga; ini adalah tentang membuat pernyataan di pasar, sebuah pernyataan yang berani bahwa kualitas dan keterjangkauan dapat berjalan seiring.
Bagi para pembuat manisan lokal, langkah ini merupakan tantangan yang signifikan.
Mereka telah lama membanggakan diri dengan keahlian mereka, makanan penutup mereka bukan hanya sekedar produk tetapi juga perwujudan dari tradisi dan seni kuliner.
Sekarang, mereka menemukan diri mereka berada di arena persaingan baru, di mana standar kualitas telah dinaikkan tanpa kenaikan harga yang sesuai.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka berhasil menurunkan harga mereka dengan tetap mempertahankan kualitas? Hal ini membawa kita ke poin ke-3.
3. Langkah Produksi Lokal
Chateraise mengambil langkah berani untuk masuk ke dalam manufaktur lokal dengan menggelontorkan dana sebesar Rp 60 miliar untuk mendirikan fasilitas canggih di Citeureup, Bogor (3).
Ini bukan hanya tentang memperluas langkah mereka; ini adalah perubahan strategis dari ketergantungan pada impor menjadi merangkul produksi lokal (4).
Bayangkan alur logistik dan jam kesegaran yang mereka hindari dengan melakukan perubahan ini!
Langkah ini bukan hanya tentang memangkas biaya, meskipun itu adalah bonus yang manis.
Ini tentang mengeluarkan makanan lezat tersebut dari jalur produksi dan masuk ke pasar dengan lebih cepat, memastikan setiap gigitan tetap mempertahankan kesegaran yang menjadi ciri khas Chateraise.
4. Filosofi “Farm-to-Factory”
Mendalami pendekatan “Farm-to-Factory” Chateraise di Indonesia, mereka harus menyulap dua piring besar:
menjaga kualitas terbaik mereka dan merangkul dunia pertanian lokal.
Hal ini berakar dari apa yang mereka lakukan di Jepang. Sebagai contoh, di Jepang, mereka bekerja sama dengan petani generasi ketiga di Prefektur Yamanashi untuk mendapatkan buah persik, yang bahkan dapat diterbangkan ke toko-toko di luar negeri, termasuk Indonesia (5).
Untuk Indonesia, mereka bekerja sama dengan petani lokal, bahkan mungkin berbagi rahasia dagang tentang cara menanam tanaman terbaik untuk hidangan penutup yang lezat itu.
Hal ini bukan hanya tentang mendapatkan buah-buahan segar untuk kue mereka; tetapi juga tentang mendukung ekonomi lokal dan mengurangi kebutuhan untuk mengangkut bahan-bahan dari tempat yang jauh. Namun, langkah ini tidak berjalan mudah.
Memastikan setiap bahan yang berasal dari lokal memenuhi standar Chateraise adalah hal yang sulit, dan membawa tantangan tersendiri.
5. Menguasai Model PR Hybrid
Terakhir, kenaikan peringkat brand Chateraise merupakan perpaduan antara tradisi dan tren. sedikit pesona media tradisional dibarengi sedikit social media marketing.
Mereka memikat hati melalui serial TV klasik seri pendiri yang disebut “Cambrian Palace,” dimana kisah keahlian mereka terungkap, sementara secara bersamaan memanfaatkan platform media sosial X untuk menyempurnakan serial pendiri tersebut dan membuatnya lebih trendi.
Perpaduan inilah yang membuat brand mereka beresonansi di seluruh generasi, mengubah setiap pelanggan menjadi pendongeng.
Sejujurnya, Chateraise tidak hanya menjual permen; mereka menciptakan sebuah komunitas di mana setiap tweet dan iklan TV menambahkan rasa pada cerita mereka.
Singkatnya, Chateraise tidak hanya mendarat di Indonesia; mereka menari, memadukan budaya, mendukung penduduk setempat, dan membuat kemewahan menjadi lebih mudah dijangkau. Dan izinkan saya memberitahu kamu, dunia produsen gula di sini? Tidak pernah sama.